.

Minggu, 27 Desember 2009

Heboh Buku Gurita Cikeas

Publik khawatir gaya Orde Baru dipakai lagi oleh aparat intelijen dan ring I istana guna melindungi Presiden SBY akibat beredarnya buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century. Cara-cara Orde Baru sempat dipakai untuk menarik buku yang menghebohkan istana itu.

Sabtu (26/12, beredar kabar bahwa istana heboh gara-gara sebuah buku Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century karya George Junus Aditjondro. Kontroversi pun meledak. Publik lalu berburu buku itu di Toko Buku Gramedia, berlomba dengan aparat intelijen dan ring I istana. Walah.

"Seandainya istana lebih tenang dan tidak grusa-grusu, mungkin buku itu tidak diburu banyak orang," kata Aris Mundayat PhD, Direktur Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Itu juga mengesankan keluarga istana amat menjaga citra atau imagologi. Seakan-akan citra atau imagologi itu segala-galanya. Jika tak ada nila setitik, tentu tidak rusak susu sebelanga. "Inilah risiko kekuasaan yang mengandalkan pencitraan namun dibaluri dugaan skandal, terutama Century Gate yang menyedot energi publik dan kaum elit," ujar Aris Mundayat.

Publik menyaksikan bahwa buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century hanya bertahan beberapa jam di toko-toko buku Gramedia. Raib seketika.

Direktur Utama Galang Press Julius Felicianus mendapat informasi bahwa pemilik toko buku Gramedia (TBG) mendapat telepon dari orang tak dikenal yang menginstruksikan penarikan buku tersebut. Teror melalui telepon ini pertanda Orde Baru kembali lagi. Bagaimana dampaknya untuk keluarga istana?

"Sangat buruk, sebab itu gaya Orde Baru. Coreng-moreng dan rusak sudah keluarga istana dengan cara-cara tak beradab itu. SBY harus perintahkan agar tak boleh ada larangan atau penarikan atas buku itu," kata peneliti ekonomi-politik Frans Aba MA dari Aliansi Buruh Migran Asia Tenggara.

Kontroversi seputar buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century terus menguat karena masalah skandal Century juga terus membara.

Analisa George Aditjondro dalam buku itu bukannya tak berdasar. Dalam struktur kepengurusan beberapa yayasan, terdapat sejumlah nama yang pernah dan masih aktif di lingkungan BUMN. Selain itu, sokongan dana dari pengusaha hitam juga sempat dikabarkan masuk ke salah satu yayasan.

"Itu semua pengurusnya terpampang jelas di situs-situs yayasan. Bahkan sudah sempat termuat di media, ada yayasan yang mendapat US$1 juta dari Joko Tjandra," ujarnya.

Karena itu, perlu audit independen atas sejumlah yayasan itu untuk mencari kebenaran yang nyata. Bukan sekadar debat kusir atau baku bantah yang justru membuat publik makin sinis dan curiga kepada keluarga istana terkait Bank Century dan pilpres.

Dengan melakukan audit independen pada yayasan seperti Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Nutu Manikam Nusantara, Majelis Dzikir SBY, dan Yayasan Kepedulian dan Kesetiakawanan, maka publik bisa tahu berapa besar dana yang masuk serta darimana sumbernya. Termasuk juga ada atau tidak dugaan dana dari LKBN Antara yang masuk ke tim kampanye SBY.

"Jangan kita berdebat soal berapa jumlahnya. Tapi ada tidak aliran dana itu? Dibantah enggak? Karena saya juga punya sumber yang valid dari orang dalam Antara," jelasnya.

George mengaku, masih banyak data yang belum ia ungkap di dalam buku terkait sumber dana kampanye SBY. Dia menyayangkan pihak KPU dan Bawaslu yang tidak meneliti secara mendalam tentang tim kampanye dan dana kampanye yang digunakan SBY. [mor]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar